Jakarta, 15 April 2025 - Sungguh mengecewakan dan memprihatinkan melihat Permadani Diksi KIP-K Nasional hari ini, sebuah organisasi yang seharusnya menjadi wadah pemersatu dan penggerak bagi mahasiswa serta alumni Bidikmisi dan KIP Kuliah, justru terperangkap dalam kemandekan struktural dan ketidakjelasan arah. Bagaimana mungkin sebuah organisasi dengan potensi besar untuk memberdayakan jutaan penerima beasiswa ini, justru kehilangan momentum dan gagal menjalankan amanahnya?
Awal mula permasalahan ini adalah kasus dualisme kepemimpinan pasca Munas 2022 di Yogyakarta yang hingga saat ini belum menemukan penyelesaian.
Dua kepemimpinan yang saling klaim antara kubu Rizal Maula dan Renaldy hanya memecah belah anggota, menghancurkan kredibilitas organisasi, dan melumpuhkan segala upaya untuk bergerak maju.
Ketidakmampuan untuk menyelesaikan konflik internal yang sudah berlangsung lama ini menunjukkan adanya ketidakdewasaan dalam berorganisasi, atau bahkan adanya kepentingan pribadi/kelompok yang lebih dominan daripada kepentingan organisasi secara keseluruhan?
Pemekaran beberapa Wilayah dan Cabang oleh Badan Pengurus Pusat versi Rizal Maula yang dianggap sebagai upaya untuk mempercepat alur koordinasi nyatanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena banyak Wilayah dan Cabang yang tidak aktif. Entah karena memang begitu sulitnya untuk membangun sebuah organisasi, atau memang karena ketidaktahuan mau dibawa kemana organisasi besar ini diarahkan.
Apakah ini menunjukkan adanya disfungsi komunikasi, kurangnya koordinasi atau bukti lemahnya kepemimpinan sentral?
Setelah terjadi dualisme pada Munas Yogyakarta 2022 lalu, pergerakan Permadani Diksi KIP-K versi Renaldy seolah kehilangan taringnya.
Hingga saat ini, kami tidak lagi melihat adanya pergerakan dari kubu ini sejak beberapa tahun lalu. Tentu publik bertanya-tanya, apakah tujuan dibalik dualisme yang terjadi hanya untuk tujuan memecah organisasi atau memang kehendak dari pemilik suara dalam Musyarawarah Nasional masa itu?
Fakta bahwa Permadani Diksi KIP-K Nasional, yang seharusnya menjadi wadah persatuan mahasiswa dan alumni Bidikmisi & KIP Kuliah, justru tidak memiliki gerakan yang mampu menyatukan, adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Potensi besar untuk membangun jaringan yang kuat, saling mendukung, dan berkontribusi bagi bangsa melalui alumni berprestasi ini terbuang sia-sia akibat inefektivitas organisasi. Alih-alih menjadi motor penggerak perubahan positif, organisasi ini terkesan pasif dan tidak mampu memanfaatkan potensi anggotanya secara maksimal.
Keterlambatan pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) untuk memilih Ketua Umum terbaru adalah indikasi serius dari ketidakpedulian terhadap mekanisme organisasi dan kebutuhan akan kepemimpinan yang legitimate. Munas yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2024, hingga tahun 2025 ini belum juga terealisasi. Penundaan yang berlarut-larut ini bukan hanya melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi, tetapi juga menciptakan “kekosongan kepemimpinan” yang jelas dan menghambat pengambilan keputusan strategis.
Jika Permadani Diksi KIP-K Nasional tidak segera berbenah, organisasi ini akan terus terpuruk dalam ketidakjelasan dan kehilangan kepercayaan dari para anggotanya. Potensi besar untuk menjadi kekuatan pemersatu dan pemberdaya akan hilang begitu saja. Ini adalah panggilan mendesak bagi seluruh elemen organisasi untuk bersatu, mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi, serta fokus pada penyelamatan dan pembangunan kembali organisasi demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh penerima Bidikmisi dan KIP Kuliah di Indonesia.
0 Comments